ADAPADA.COM – Berkembangnya zaman modern membuat masyarakat seakan lupa dan dipaksa untuk lupa akan kebudayaan di wilayahnya sendiri. Seni Tutur Sinrilik misalnya, salah satu tradisi sastra lisan yang hampir ditenggelamkan zaman.Disampaikan dengan bahasa Makassar, seni tutur ini secara umum bercerita tentang kisah-kisah heroik dan romantis. Penyampaiannya tak lengkap jika tak diiringi oleh alat musik yang juga mulai langka ditemukan. Keso’-keso’, demikian nama alat musik tersebut.
Bentuknya mirip alat musik gesek rebab, dengan senar juga alat gesek, hanya saja keso’-keso’ berbentuk oval dan lebar pada bagian bawahnya. Alat musik ini dimainkan oleh seorang yang disebut pasinrilik atau penutur sinrilik. Kini menemukan pasinrilik pun mulai sulit. Arif Rahman salah seorang pasinrilik yang kini terus berupaya mempertahankan seni tutur bahasa Makassar ini.
Di usianya yang masih terbilang cukup muda, lelaki asal tanah Kajang Kabupaten Bulukumba ini terus melenggang memperkenalkan serta mempertahankan Sinrilik. Di tengah maraknya kaum muda yang terus terbius dengan hadirnya musik-musik modern, Arif Rahman juga tak ingin kalah untuk tetap membuat Sinrilik kembali eksis di tengah masyarakat. Lelaki berusia 30 tahun, Arif telah membawa Sinrilik hingga ke negeri jiran Malaysia pada Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) pada 2015 lalu.
Arif mengatakan, tak jelas dari mana asal muasal seni tutur ini. Namun dari sang mahaguru Syarifuddin Daeng Tutu, Arif menyebutkan dulunya Sinrilik biasa dijadikan sebagai media komunikasi antara raja dan rakyat pada zaman kejayaan kerajaan Gowa.
“Saya mulai mempelajari Sinrilik sejak tahun 2011 silam,” kata Arif pada adapada.com. Baginya, Sinrilik adalah khazanah sastra yang harus di apresiasi secara serius.
Alumni Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar ini juga menjelaskan secara umum Passinrilik menggunakan pakaian tradisional seperti sarung, jas tutup, juga patonrok topi khas yang dikenakan Sultan Hasanuddin.
“Tetapi secara personal setiap pasinrilik atau penutur memiliki gaya yang berbeda dalam bertutur dan menyampaikan Sinriliknya,” ungkap Arif.
Ia pun mengakui seringkali menampilkan Sinrilik tanpa kostum adat lengkap. Hal itu ia lakukan ketika membawakan Sinrilik dalam pembacaan puisi atau menarasikan pertunjukan teater.
Upaya mempertahankan Sinrilik ini didukung dengan seringnya Arif diundang sebagai pengisi acara di berbagai kesempatan. “Saya biasa isi acara seminar, festival kebudayaan, pertunjukan seni, pernah juga mengisi acara pernikahan,” jelas Arif. Tak hanya itu beberapa TV lokal juga pernah mengundang Arif sebagai pembicara untuk memperkenalkan seni tutur Sinrilik. Kelihaiannya membawakan Sinrilik juga telah membuat Arif meraih berbagai penghargaan.
Bagi Arif, Sinrilik tak hanya memiliki aspek hiburan dan kesenian saja. Sinrilik menurut dia adalah media literasi yang unik. “Dengan cita rasa dan semangat lokalitas, Sinrilik berusaha ‘menyentil’ banyak fenomena yang terjadi di sekitar kita,” tambanya. Selain itu lanjut Arif, Sinrilik mampu mewadahi berbagai topik di kalangan masyarakat. “Itulah kelebihan dan keunikan Sinrilik bagi saya,” tutupnya.
Penulis: Andini