ADAPADA.COM – Film Tarung Sarung besutan sutradara Archie Hekagery, dibintangi oleh aktor laga International asal Indonesia Yayan Ruhian ini rencananya akan tayang 2 April 2020, namun terpaksa tertunda hingga akhirnya tayang secara streaming di Nexflix pada akhir Desember 2020. Film yang diproduksi oleh Starvision ini menampilkan Panji Zoni sebagai tokoh utama, Maizura, Yayan Ruhiyan, Cemal Faruk, Surya Saputra, Imelda Therinne, dan masih banyak lagi.
Film ini Mengangkat kisah perjalanan Deni ruso (Panji Zoni) yang terlahir dari salah satu keluarga terkaya di Indonesia. Bagi Deni uang adalah segalanya, ia bahkan kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan. Namun semuanya berubah ketika ia ke Makassar mengurus bisnis keluarga, dan bertemu Tenri (Maizura) gadis Makassar aktivis yang membenci Ruso Corp sebagai kapitalis perusak lingkungan.
Deni pun menyembunyikan identitasnya demi mendapatkan cinta Tenri. Masalah pun muncul ketika Deni tidak terima dihajar oleh Sanrego (Cemal Faruk) juara bela diri tarung sarung dan akhirnya, kekalahan itu membuat Deni berguru kepada Pak Khalid (Yayan Ruhian) yang merupakan seorang penjaga masjid.
Tarung sarung merupakan film yang mengangkat kehidupan sosial budaya suku bugis di Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah Sigajang laleng Lipa, awal kemunculan tradisi ini adalah pengaruh masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu (siri) dimana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.
Bagi pemuda bugis sigajang laleng lipa dilakukan jika suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan berbagai cara maka mereka memutuskan untuk melakukan ritual ini, tentu saja cara kekeluargaan tetap lebih diutamakan dibandingkan cara ini.
Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta. Lewat ritual ini pemuda yang bermasalah akan saling tikam menggunakan badik (senjata tradisional Bugis Makassar) dan dikurung dalam satu sarung (lipa).
Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.
Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisan budaya.
Sumber Berita: intisari.grid.id, idntimes.com