ADAPADA.COM – Dalam kunjungan kenegaraan dan pertemuan bilateral terbaru antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto, kedua pihak mengumumkan kesepakatan dagang besar-besaran senilai lebih dari 25 miliar dolar AS. Trump menyebut AS mendapatkan “akses penuh ke Indonesia, segalanya, termasuk tembaga,” dalam sebuah pidato yang viral di media sosial dan memicu beragam respons dari dalam negeri. Kesepakatan ini dianggap sebagai kemenangan besar bagi sektor industri AS, namun juga menimbulkan pertanyaan kritis: siapa sebenarnya yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan?
Amerika dan Korporasi Besar Jadi Pemenang
Pihak yang paling diuntungkan dari kesepakatan ini tampaknya adalah Amerika Serikat dan korporasi besar dalam negeri mereka. Trump mengklaim kesepakatan ini mencakup pembelian produk pertanian, energi, hingga pesawat dari AS oleh Indonesia. Tidak hanya itu, hambatan tarif dan non-tarif akan dihapuskan secara menyeluruh, memungkinkan perusahaan AS mengakses pasar Indonesia tanpa banyak batasan. Dalam laporan Financial Times, produk seperti daging, jagung, dan teknologi medis akan masuk lebih cepat dan murah ke Indonesia, sementara perusahaan otomotif AS akan mendapat pengecualian standar keamanan yang selama ini jadi kendala ekspor.
Industri dan Petani Lokal Indonesia Terancam
Namun, di balik gegap gempita tersebut, ancaman besar justru mengintai sektor pertanian dan industri lokal Indonesia. Produk impor pertanian dari AS yang masuk tanpa tarif dikhawatirkan akan menghancurkan daya saing petani lokal. Ketua Asosiasi Petani Indonesia, dalam wawancara dengan Katadata, menyebut bahwa “produk petani lokal bisa tak laku karena kalah harga dan volume.” Selain itu, industri pengolahan sumber daya alam seperti tembaga dan nikel juga terancam karena bahan mentah bisa kembali diekspor tanpa diproses di dalam negeri, melumpuhkan program hilirisasi yang dicanangkan pemerintahan sebelumnya.
Data Penduduk: Aset Strategis atau Ancaman Baru?
Pernyataan Trump yang menyebut AS mendapatkan “akses penuh” ke Indonesia tidak hanya merujuk pada ekonomi fisik, tapi juga data. Meski belum ada penjelasan resmi dari pemerintah Prabowo mengenai bentuk dan batas akses data ini, kekhawatiran mulai muncul dari kalangan pengamat kebijakan digital. Pakar keamanan siber dari ICT Institute menyatakan bahwa akses semacam ini berpotensi membuka pintu bagi penyalahgunaan data pribadi warga negara, mulai dari data kependudukan, transaksi keuangan, hingga lokasi dan perilaku digital. Jika tidak diatur dengan ketat, ini bisa menjadi pelanggaran serius terhadap kedaulatan digital Indonesia.
Kedaulatan Digital Dipertaruhkan
Pemberian akses data yang luas kepada negara asing tanpa perjanjian perlindungan hukum yang transparan dianggap sebagai kemunduran dalam upaya Indonesia membangun kedaulatan digital. UU Perlindungan Data Pribadi yang baru saja disahkan seolah tidak cukup kuat jika pemerintah sendiri yang membuka akses tersebut ke pihak asing. Dalam pernyataan di SCMP, beberapa pakar menyebut kondisi ini bisa digunakan untuk kepentingan komersial, bahkan intelijen asing, yang mengancam privasi dan keamanan nasional dalam jangka panjang.
Respons Prabowo: Semua Sudah Dihitung
Presiden terpilih Prabowo Subianto merespons santai kekhawatiran publik dengan menyebut bahwa semua keputusan telah melalui pertimbangan matang. “Kami sudah hitung semuanya. Tidak mungkin kami rugikan rakyat kami,” ujar Prabowo dikutip dari Katadata. Namun hingga kini belum ada penjelasan rinci mengenai bentuk kerja sama data tersebut, serta mekanisme perlindungan untuk sektor-sektor rentan di dalam negeri. Publik pun menanti sikap resmi dari kementerian terkait, terutama dalam bidang perdagangan, digital, dan keamanan.
Kesepakatan Trump–Prabowo jelas menciptakan peluang besar di bidang perdagangan, namun juga membuka celah kerentanan serius di bidang kedaulatan ekonomi dan digital Indonesia. Pemerintah harus segera membentuk tim independen untuk meninjau ulang detail kesepakatan, termasuk klausul soal data dan sumber daya strategis. Tanpa pengawasan dan transparansi, kerja sama ini bisa menjadi bumerang jangka panjang bagi Indonesia, meskipun di awal terlihat menjanjikan.